Rabu, 28 Desember 2011

ASKEP DECOMPENSASI CORDIS

ASKEP DECOMPENSASI CORDIS

I. Pengertian
 Dekompensasi kordis adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan kemampuan fungsi kontraktilitas yang berakibat pada penurunan fungsi pompa jantung (Tabrani, 1998; Price ,1995).


II.Etiologi
 Mekanisme fisiologis yang menyebabkan timbulnya dekompensasi kordis adalah keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal, beban akhir atau yang menurunkan kontraktilitas miokardium. Keadaan yang meningkatkan beban awal seperti regurgitasi aorta, dan cacat septum ventrikel. Beban akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi stenosis aorta atau hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada infark miokard atau kardiomyopati. Faktor lain yang dapat menyebabkan jantung gagal sebagai pompa adalah gangguan pengisisan ventrikel ( stenosis katup atrioventrikuler ), gangguan pada pengisian dan ejeksi ventrikel (perikarditis konstriktif dan temponade jantung). Dari seluruh penyebab tersebut diduga yang paling mungkin terjadi adalah pada setiap kondisi tersebut mengakibatkan pada gangguan penghantaran kalsium di dalam sarkomer, atau di dalam sistesis atau fungsi protein kontraktil ( Price. Sylvia A, 1995).

III.Patofisiologi
 Berdasarkan hubungan antara aktivitas tubuh dengan keluhan dekompensasi dapat dibagi berdasarkan klisifikasi sebagai berikut:
1. Pasien dg P. Jantung tetapi tidak memiliki keluhan pd kegiatan sehari-hari
2. Pasien dengan penyakit jantung yang menimbulkan hambtan aktivitas hanya sedikit, akan tetapi jika ada kegaiatn berlebih akan menimbulkan capek, berdebar, sesak serta angina
3. Pasien dengan penyakit jantung dimana aktivitas jasmani sangat terbatas dan hanya merasa sehat jika beristirahat.
4. Pasien dengan penyakit jantung yang sedikit saja bergerak langsung menimbulkan sesak nafas atau istirahat juga menimbulkan sesak nafas.

Asuhan Keperawatan
A.Pengkajian
1. Aktivitas dan Istirahat
Gejala : Mengeluh lemah, cepat lelah, pusing, rasa berdenyut dan berdebar.
Mengeluh sulit tidur (ortopneu, dispneu paroksimal nokturnal, nokturia, keringat malam hari).
Tanda: Takikardia, perubahan tekanan darah, pingsan karena kerja, takpineu, dispneu.
2. Sirkulasi
Gejala: Menyatakan memiliki riwayat demam reumatik hipertensi, kongenital: kerusakan arteial septal, trauma dada, riwayat murmur jantung dan palpitasi, serak, hemoptisisi, batuk dengan/tanpa sputum, riwayat anemia, riwayat shock hipovolema.
Tanda: Getaran sistolik pada apek, bunyi jantung; S1 keras, pembukaan yang keras, takikardia. Irama tidak teratur; fibrilasi arterial.
3. Integritas Ego
Tanda: menunjukan kecemasan; gelisah, pucat, berkeringat, gemetar. Takut akan kematian, keinginan mengakhiri hidup, merasa tidak berguna. kepribadian neurotik,
4. Makanan/Cairan
Gejala: Mengeluh terjadi perubahan berat badan, sering penggunaan diuretik.
Tanda: Edema umum, hepatomegali dan asistes, pernafasan payah dan bising terdengar krakela dan mengi.
5. Neurosensoris
Gejala: Mengeluh kesemutan, pusing
Tanda: Kelemahan
6. Pernafasan
Gejala: Mengeluh sesak, batuk menetap atau nokturnal.
Tanda: Takipneu, bunyi nafas; krekels, mengi, sputum berwarna bercak darah, gelisah.
7. Keamanan
Gejala: Proses infeksi/sepsis, riwayat operasi
Tanda: Kelemahan tubuh
8. Penyuluhan/pembelajaran
Gejala: Menanyakan tentang keadaan penyakitnya.
Tanda: Menunjukan kurang informasi.

B. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto polos dada
- Proyeksi A-P; konus pulmonalis menonjol, pinggang jantung
hilang, cefalisasi arteria pulmonalis.
- Proyeksi RAO; tampak adanya tanda-tanda pembesaran atrium
kiri dan pembesaran ventrikel kanan.
2. EKG
Irama sinus atau atrium fibrilasi, gel. mitral yaitu gelombang P yang melebar serta berpuncak dua serta tanda RVH, LVH jika lanjut usia cenderung tampak gambaran atrium fibrilasi.
3. Kateterisasi jantung dan Sine Angiografi
Didapatkan gradien tekanan antara atrium kiri dan ventrikel kiri pada saat distol. Selain itu dapat dideteksi derajat beratnya hipertensi pulmonal. Dengan mengetahui frekuensi denyut jantung, besar curah jantung serta gradien antara atrium kiri dan ventrikel kiri maka dapat dihitung luas katup mitral.

Kemungkinan diagnosa keperawatan
1.Penurunan curah jantung berhubungan dengan penurunan pengisian ventrikel kiri, peningkatan atrium dan kongesti vena.
S: Mengeluh sesak, kelelahan, keletihan.
O: Perubahan EKG/disritmia, kulit dingin dan basah, cyanosis, kulit pucat dan lembab, oliguri atau anuria.
2. Resiko tinggi kelebihan volume cairan: edema berhubungan dengan kongesti vaskuler pulmonalis dan perpindahan cairan ke ekstra vaskuler.
S: Mengeluh badan terasa berat dan kemeng.
O: Odema.
3.Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran arteri vena dengan keterlibatan katup mitral.
S: Mengeluh lemah, cepat capek.
O: Kulit dingin, cyanosis, kapiler reffil > 3 detik.
4. Resiko tinggi gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membram kapiler alveoli dan retensi cairan interstisiil.
S: Mengeluh sesak nafas, batuk kering, tidak produktif dan kelelahan.
O: Oedema pada ektremitas bawah, akral dingin, cyanosis.
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplay dan demand oksigen.
S: Mengeluh sesak nafas, dispneu pada saat aktivitas.
O: Keluar keringat dingin, nyeri dada, fibrilasi arterial.
6. Resiko tinggi nyeri berhubungan dengan iskhemi jaringan miokard.
7. Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan sirkulasi dan status metabolik.
8. Cemas berhubungan dengan penurunan status kesehatan dan situasi krisis.

S: Mengelah tidak bisa tidur dan istirahat.
O: Wajah nampak tegang, takikardi.
9. Kurang pengetahuan tentang kondisi, kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang terpajan informasi tentang penyakit katup jantung.
10.Gangguan pola nafas berhubungan peningkatan tekanan CO2.
S: Mengeluh sesak nafas.
O: Takipneu.
11.Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan pengeluaran keringat berlebihan.
S: Mengeluh badan basah
O: Gelisah, sering mengelap badan.
12.Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan intake, mual dan anoreksia.
S: Mengeluh mual, tidak nafsu makan.
O: Makan hanya beberapa sendok, sediaan tidak habis.
13.Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan penurunan daya tahan tubuh.
14.Resiko tinggi konstipasi berhubungan dengan penurunan intake fiber dan penurunan bising usus.
15.Gangguan pola tidur dan istirahat berhubungan dengan dispneu.
16.Resiko tinggi penurunan tingkat kesadaran berhubungan dengan penurunan aliran darah ke otak.
17.Resiko gangguan sensorik-motorik berhubungan dengan hipoksemia.
18.Resiko terjadinya gagal ginjal akut berhubungan dengan penurunan aliran darah pada ginjal.
19.Resiko terjadinya kontraktur berhubungan pembatasan gerak, kelemahan.
20.Resiko injury berhubungan pusing dan kelemahan.


Diagnose dan Tindakan keperawatan
a. Kerusakan pertukaran gas b.d kongesti paru sekunder perubahan membran kapiler alveoli dan retensi cairan interstisiil.
Tujuan : Mempertahankan ventilasi dan oksigenasi secara adekuat, PH darah normal, PO2 80-100 mmHg, PCO2 35-45 mm Hg, HCO3 –3 – 1,2
TINDAKAN
1. Kaji kerja pernafasan ( frekwensi, irama , bunyi dan dalamnya )
2. Berikan tambahan O2 6 lt/mnt
3. Pantau saturasi (oksimetri) PH, BE, HCO3 (dengan BGA)
4. Koreksi kesimbangan asam basa
5. Beri posisi yang memudahkan klien meningkatkan ekpansi paru.(semi fowler)
6. Cegah atelektasis dengan melatih batuk efektif dan nafas dalam
7. Lakukan balance cairan
8. Batasi intake cairan
9. Eavluasi kongesti paru lewat radiografi
10.Kolaborasi :
- RL 500 cc/24 jam
- Digoxin 1-0-0
- Furosemid 2-1-0
RASIONAL
• Untuk mengetahui tingkat efektivitas fungsi pertukaran gas.
• Untu meningkatkan konsentrasi O2 dalam proses pertukaran gas.
• Untuk mengetahui tingkat oksigenasi pada jaringan sebagai dampak adekuat tidaknya proses pertukaran gas.
• Mencegah asidosis yang dapat memperberat fungsi pernafasan.
• Meningkatkan ekpansi paru
• Kongesti yang berat akan memperburuk proses perukaran gas sehingga berdampak pada timbulnya hipoksia.
• Meningkatkan kontraktilitas otot jantung sehingga dapat meguranngi timbulnya odem sehingga dapat mecegah ganggunpertukaran gas.Membantu mencegah terjadinya retensi cairan dengan menghambat ADH.

2.Penurunan curah jantung b.d penurunan pengisian ventrikel kiri, peningkatan atrium dan kongesti vena.
Tujuan perawatan : Stabilitas hemodinamik dapat dipertahanakan dengan kriteria : (TD > 90 /60 ), Frekwensi jantung normal,

TINDAKAN
1. Pertahankan pasien untuk tirah baring
2. Ukur parameter hemodinamik
3. Pantau EKG terutama frekwensi dan irama.
4. Pantau bunyi jantung S-3 dan S-4
5. Periksa BGA dan saO2
6. Pertahankan akses IV
7. Batasi Natrium dan air
8. Kolaborasi :
- ISDN 3 X1 tab
- Spironelaton 50 –0-0
RASIONAL
• Mengurangi beban jantung
• Untuk mengetahui perfusi darah di organ vital dan untuk mengetahui PCWP, CVP sebagai indikator peningkatan beban kerj a jantung
• Untuk mengetahui jika terjadi penurunan kontraktilitas yang dapat mempengaruhi curah jantung.
• Untuk mengetahui tingkat gangguan pengisisna sistole ataupun diastole
• Untuk mengetahui perfusi jaringan di perifer
• Untuk maintenance jika sewaktu terjadi kegawatan vaskuler.
• Mencegah peningkatan beban jantung
• Meningkatkan perfisu ke jaringan
• Kalium sebagai salah satu komponen terjadinya konduksi yang dapat menyebabkan timbulnya kontraksi otot jantung.

b. Penurunan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan curah jantung.
Tujuan: Kulit hangat dan kering klien memperlihatkan perbaikan status mental
TINDAKAN
1. Kaji status mental klien secara teratur
2. Kaji warna kulit, suhu, sianosis, nadi perifer dan diaforesis secara teratur.
3. Kaji kualitas peristaltik k/p pasang sonde
4. Kaji adanya kongesti hepar pada abdomen kanan atas
5. Ukur tanda vital, periksa lab : Hb, Ht, BUN, Sc, BGA sesuai peasanan.
RASIONAL
• Mengetahui derajat hipoksia pada otak
• Mengetahui derajat hipsemia dan peningkatan tahanan perifer
• Mengetahui pengaruh hipoksia terhadap fungsi saluran cerna. serta dampak penurunan elektrolit.
• Sebagai dampak gagal jantung, kanan jika berat akan ditemuka adanya tanda kongesti
• Untuk mengetahui keadekuatan fungsi dan vaskulrasisai sescara keseluruhan. Jika terjadi dekompensasi ditambah komlikasi Hb rendah, Ht tinggi akan memeperberat gangguan perfusi. Gangguan perfusi yang berat (PCO2 tinggi) akan mengurangi aliran darah ke ginjal sehingga ginjal dapat mengalami gangguan fungsi yang dapat dimonitir dari peningkatan kadar BUN, Sc.


c. Kelebihan volume cairan b.d kongesti vaskuler pulmonalis dan perpindahan cairan ke ekstra vaskuler.
Tujuan : haluaran urin adekuat akan dipertahankan dengan diuretika ( > 30 ml /jam ), tanda-tanda odem paru atau ascites tidak ada
TINDAKAN
1. Kaji tekanan darah
2. Kaji distensi vena jugularis
3. Timbang BB
4. Beri posisi yang membantu drainage ektremitas, lakukan latihan gerak fasif,
5. Evaluasi kadar Na. Klien, Hb dan Ht.
RASIOANAL
• Sebagai salah satu cara untuk mengetahui peningkatan jumlah cairan yang dapat diketahui dengan meningkatkan beban kerja jantung yang dapat diketahui dari meningkatnya tekanan darah.
• Peningkatan cairan dapat membebani fungsi ventrikel kanan yang dapat dipantau melalui pemeriksaan tekanan vena jugularis.
• Kelebihan BB dapat diketahui dari peningkatan BB yang ekstrim akibat terjadiny penimbunan cairan ekstra seluler.
• Meningkatkan venus return dan mendorong berkurangnya edema perifer.
• Dampak dari peningkatan volume cairan akan terjadi hemodelusi sehingga Hb turun, Ht turun.

d. Resiko tinggi intoleransi aktivitas b.d ketidak seimbangan antara suplay dan demand oksigen.
Tujuan : Klien menunjukkan kemampuan beraktivitas tanpa gejala – gejala yang berat, terutama mobilisasi di tempat tidur.
TINDAKAN
1. Pertahankan klien tirah baring sementara sakit akut.
2. Tingkatkan klien duduk di kursi dan tinggikan kaki klien
3. Pertahankan rentang gerak pasif selama sakit kritis
4. Evaluasi tanda vital saat kemajuan akitivitas terjadi
5. Berikan waktu istirahat diatara waktu aktivitas
6. Pertahankan penambahan O2 sesuai pesanan
7. Selama aktivitas kaji EKG, dispnoe, sianosis, kerja nafas dan frekwensi nafas serta keluhan subyektif.
8. Berikan diet sesuai peasanan (pembatasan air dan Na ).
RASIONAL
• Untuk mengurangi beban jantung.
• Untuk meningkatkan venus return
• Meningkatkan kontraksi otot sehingga membantu venus return.
• Untuk mengetahui fungsi jantung, bila dikaitkan dengan aktivitas.
• Untuk mendapatkan cukup waktu qresolusi bagi tubuh dan tidak terlalu memaksa kerja jantung.
• Untuk meningkatkan oksigenasi jaringan
• Melihat dampak dari aktivitas terhadap fungsi jantung.
• Untuk mencegah retensi cairan dan odem akibat penurunan kontraktilitas jantung.

e. Resiko gangguan pemenuhan nutrisi b.d nafsu makan menurun dan intake kurang.
Tujuan : Setelah di rawat selama 3 hari klien mau makan, porsi makanan yang disediakan habis.
PERENCANAAN
1. Jelaskan tentang manfaat makan bila dikaitkan dengan kondisi klien saat ini.
2. Anjurkan agar klien makan –makanan yang disediakan di RS.
3. Beri makanan dalam keadaan hangat dan porsi kecil serta diit TKTPRG
RASIONAL
- Dengan pemahaman klien akan lebih kooperatif mengikuti aturan.
- Untuk menghindari makanan yang justeru dapat menggaggu proses penyembuhan klien.
- Untuk meningkatkan selera dan mencegah mual, mempercepat perbaikan kondisi serta mengurangi beban kerja jantung.

f. Cemas b.d hospitalisasi dan kurangnya pengetahuan tentang penyakit serta penanganan yang akan didapatkan.
Tujuan : Setelah di rawat kecemasan berkurang
Kriteria : Tidur 6-8 jam/hari, gelisah hilang, klien kooperatif dengan petugas dan tindakan yang diprogramkan.
TINDAKAN
Senin, 28 Januari 2002 - Lakukan pendekatan dan komunikasi.
1. Berikan penjelasan tentang penyakit, penyebab serta penanganan yang akan dilakukan.
2. Tanyakan keluhan dan masalah psikologis yang dirasakan klien saat ini.
3. Kolaborasi
- Activan 2 X 1
RASIONAL
- Untuk membina saling percaya
- Untuk memberikan jaminan kepastian tentang, langkah-langkah tindakan yang akan diberikan sehingga klien dan keluarga lebih pasti.
- Untuk dapat menemukan jalan keluar dari masalah yang dihadapi klien sehingga dapat mengurangi beban psikologis klien.
- Sebagai anti cemas

DAFTAR PUSTAKA
Tabrani, (1998), Agenda Gawat Darurat Jilid 2, Penerbit Alumni Bandung
Guyton, (1991), Fisiologi Manusia, EGC, Jakarta
Barbara Engram, (1995), Perawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta
Dongoes M.E, Marry F, Alice G (1997) Nursing Care Plans, F.A davis Company, Philadelphia.
Carpennito L.J (1997), Nursing Diagnosis, JB. Lippincot, New York
Hudak & Gallo (1997), Keperawatan Kritis Pendekatam Holistik, Penerbit EGC, Jakarta.
Price Sylvia A ( 1993) , Patofisiologi, Penerbit EGC, Jakarta.

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN PNEUMOTHORAK

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN PNEUMOTHORAK


KONSEP DASAR PENYAKIT PNEUMOTHORAK

A. PENGERTIAN
Pneumotorax adalah terdapatnya udara dalam rongga pleura, sehingga paru-paru dapat terjadi kolaps.
Pneumothorak adalah keluarnya udara dari paru yang cedera ke dalam ruang pleura.
Pneumothorak adalah keadaan terdapatnya udara atau gas dalam rongga pleura. Pada keadaan normal rongga pleura tidak berisi udara, supaya paru-paru leluasa mengembang terhadap rongga dada.
Pneumotoraks merupakan keadaan emergensi yang disebabkan oleh akumulasi udara dalam rongga pleura, sebagai akibat dari proses penyakit atau cedera.
Jadi, Pneumothorak adalah suatu keadaan dimana terdapat udara atau gas dalam rongga pleura sehingga fungsi paru-paru terganggu bahkan bisa terjadi kolaps.

B. ETIOLOGI
Pneumotoraks terjadi disebabkan adanya kebocoran dibagian paru yang berisi udara melalui robekan atau pecahnya pleura. Robekan ini akan berhubungan dengan bronchus.
1. Berdasarkan penyebabnya pneumothorak diklasifikasikan sebagai berikut :
- Pneumotorak spontan adalah setiap pneumotorak yang terjadi tiba-tiba tanpa adanya suatu penyebab (trauma ataupun iatrogenic) ada 2 jenis yaitu :
a. Pneumotorak spontan primer adalah suatu pneumotorak yang terjadi tanpa adanya riwayat penyakit paru yang mendasari sebelumnya, umumnya pada individu sehat, dewasa muda, tidak berhubungan dengan aktivitas fisis yang berat tetapi justru terjadi pada saat istirahat dan sampai sekarang belum diketahui penyebabnya.
b. Pneumotorak spontan sekunder adalah suatu pneumotorak yang terjadi karena penyakit paru yang mendasarinya (tuberkolosis paru, PPOK, asma bronkiale, pneumonia, dan tumor paru.
- Pneumotorak traumatic adalah adalah pneumotorak yang terjadi akibat suatu penetrasi ke dalam rongga pleura karena luka tusuk atau luka tembak atau tusukan jarum/kanul. Pneumotorak traumatic juga ada 2 jenis yaitu :
a. Pneumotorak traumatic bukan iatrogenic adalah pneumotorak yang terjadi karena jejas kecelakaan misalnya jejas dinding pada dada terbuka/tertutup, baro trauma.
b. Pneumotorak traumatic iatrogenic adalah pneumotorak yang terjadi akibat tindakan oleh tenaga medis. Pneumotorak jenis inipun masih dibedakan menjadi 2, yaitu:
- Pneumotorak traumatic iatrogenic aksidental, adalah pneumotorak yang terjadi akibat tindakan medis karena kesalahan/komplikasi tindakan tersebut.
- Pneumotorak traumatic iatrogenic artificial (deliberate) adalah pneumotorak yang sengaja dikerjakan dengan cara mengisi udara kedalam rongga pleura melalui jarum dengan suatu alat Maxwell Box. Biasanya untuk terapi tuberkolosis, atau untuk menilai permukaan paru.
2. Berdasarkan jenis fistel :
- Pneumotoraks terbuka. Pneumotoraks dimana ada hubungan terbuka antara rongga pleura dan bronchus yang merupakan dunia luar. Dalam keadaan ini tekanan intra pleura sama dengan tekanan barometer (luar). Tekanan intra pleura disekitar nol (0) sesuai dengan gerakan pernapasan. Pada waktu inspirasi tekanannya negatif dan pada waktu ekspirasi positif (+ 2 ekspirasi dan - 2 inspirasi).
- Pneumotoraks tertutup. Rongga pleura tertutup tidak ada hubungan dengan dunia luar. Udara yang dulunya ada di rongga pleura kemungkinan positif oleh karena diresorbsi dan tidak adanya hubungan lagi dengan dunia luar, maka tekanan udara di rongga pleura menjadi negatif. Tetapi paru belum mau berkembang penuh. Sehingga masih ada rongga pleura yang tampak meskipun tekanannya sudah negatif (- 4 ekspirasi dan - 12 inspirasi).
- Pneumotoraks ventil. Merupakan pneumotoraks yang mempunyai tekanan positif berhubung adanya fistel di pleura viseralis yang bersifat ventil. Udara melalui bronchus terus ke percabangannya dan menuju ke arah pleura yang terbuka. Pada waktu inspirasi udara masuk ke rongga pleura dimana pada permulaan masih negatif. Pada waktu ekspirasi udara didalam rongga pleura yang masuk itu tidak mau keluar melalui lubang yang terbuka tadi bahkan udara ekspirasi yang mestinya dihembuskan keluar dapat masuk ke dalam rongga pleura, apabila ada obstruksi di bronchus bagian proksimal dari fistel tersebut. Sehingga tekanan pleura makin lama makin meningkat sehubungan dengan berulangnya pernapasan. Udara masuk rongga pleura pada waktu ekspirasi oleh karena udara ekspirasi mempunyai tekanan lebih tinggi dari rongga pleura, lebih-lebih kalau penderita batuk-batuk, tekanan udara di bronchus lebih kuat lagi dari ekspirasi biasa.

C. PATOFISIOLOGI
 Normal tekanan negatif pada ruang pleura adalah -10 s/d -12 mmHg. Fungsinya membantu pengembangan paru selama ventilasi. Pada waktu inspirasi tekanan intra pleura lebih negatif daripada tekanan intra bronchial, maka paru akan berkembang mengikuti dinding thoraks sehingga udara dari luar dimana tekanannya nol (0) akan masuk bronchus sampai ke alveoli.
 Pada waktu ekspirasi dinding dada menekan rongga dada sehingga tekanan intra pleura akan lebih tinggi dari tekanan di alveolus ataupun di bronchus sehingga udara ditekan keluar melalui bronchus.
Tekanan intra bronchial meningkat apabila ada tahanan jalan napas. Tekanan intra bronchial akan lebih meningkat lagi pada waktu batuk,bersin, atau mengejan, pada keadaan ini glottis tertutup. Apabila di bagian perifer dari bronchus atau alveolus ada bagian yang lemah maka akan pecah atau terobek..
Pneumotoraks terjadi karena adanya kebocoran dibagian paru yang berisi udara melalui robekan atau pecahnya pleura. Robekan ini akan berhubungan dengan bronchus.
 Pelebaran dari alveoli dan pecahnya septa-septa alveoli yang kemudian membentuk suatu bula di dekat suatu daerah proses non spesifik atau granulomatous fibrosis adalah salah satu sebab yang sering terjadi pneumotoraks, dimana bula tersebut berhubungan dengan adanya obstruksi emfisema.
 Penyebab tersering adalah valve mekanisme di distal dari bronchial yang ada keradangan atau jaringan parut. Secara singkat penyebab terjadinya pneumotorak menurut pendapat “MACKLIN“ adalah sebagai berikut :
 Alveoli disanggah oleh kapiler yang lemah dan mudah robek, udara masuk ke arah jaringan peribronchovaskuler apabila alveoli itu menjadi lebar dan tekanan didalam alveoli meningkat. Apabila gerakan napas yang kuat, infeksi, dan obstruksi endobronchial merupakan faktor presipitasi yang memudahkan terjadinya robekan.
Selanjutnya udara yang terbebas dari alveoli dapat menggoyakan jaringan fibrosis di peribronchovaskuler kearah hilus, masuk mediastinum dan menyebabkan pneumotoraks atau pneumomediastinum.

D. MANIFESTASI KLINIS
Keluhan utama yaitu : Sesak napas tiba-tiba, napas pendek, batuk kering, dan nyeri dada, punggung dan lengan merupakan gejala utama. Terasa lebih nyeri pada gerakan respirasi. Sesak ringan sampai berat. Tanpa atau dengan cyanosis. Tampak sakit ringan sampai berat, lemah sampai shock, berkeringat dingin. Berat ringannya keadaan penderita tergantung dari keadaan pneumotoraksnya : Tertutup dan terbuka biasanya tidak berat, ventil ringan tekanan positif tinggi biasanya berat dan selain itu tergantung juga keadaan paru yang lain dan ada atau tidaknya obstruksi jalan napas.

E. KOMPLIKASI
a. Tension Penumototrax
b. Penumotoraks Bilateral
c. Emfisema

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan laboratorium
- Darah lengkap
- AGD ( analisa gas darah )
b. Radio diagnostik
- X-foto thoraks 2 arah (PA/AP dan lateral)
- EKG

G. PENATALAKSANAAN
Tindakan pengobatan pneumothorak tergantung beratnya, jika pasien dengan pneumothorak ukuran kecil dan stabil, biasanya hanya diobservasi dalam beberapa hari ( minggu ) dengan foto dada serial tanpa harus dirawat inap di rumah sakit. Pada prinsipnya diupayakan pengembangan paru sesegera mungkin antara lain dengan pemasangan water sealed drainage ( WSD ). Pasien pneumothorak dengan klinis tidak sesak dan luas pneumothorak < 15 % cukup dilakukan observasi. Namun bila didapatkan penyakit paru yang mendasarinya perlu dipasang WSD ( tindakan dekompresi ). Apabila ada batuk dan nyeri dada, diobati secara simtomatis. Selanjutnya evaluasi foto dada setiap 12 – 24 jam selama 2 hari.
Tindakan dekompresi yaitu membuat hubungan rongga pleura dengan udara luar, ada beberapa cara :
1. Menusukkan jarum melalui dinding dada sampai masuk rongga pleura, sehingga tekanan udara positif akan keluar melalui jarum tersebut.
2. Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil, yaitu dengan:
a. Jarum infus set ditusukkan ke dinding dada sampai masuk rongga pleura, kemudian pipa plastik /slang dipangkal saringan tetesan dipotong dan dimasukkan ke dalam botol berisi air dan klem dibuka, akan timbul gelembung-gelembung udara dalam botol.
b. Abbocath : jarum abbocath no. 14 ditusukkan ke rongga pleura dan setelah mandrin dicabut, dihubungkan dengan pipa infus set, selanjutnya dikerjakan seperti sebelumnya.
c. WSD : pipa khusus ( catheter urine ) yang steril dimasukkan ke rongga pleura dengan perantaraan troker atau klem penjepit bedah. Sebelum trokar yang dimasukkan ke rongga pleura, terlebih dulu kulit dada tempat trokar akan dimasukkan didesinfektan, ditutup duk penutup dan diberikan anastesi lokal dengan xilokain atau prokain, 2 % secukupnya. Lokasi insisi kulit dapat di ruang antar iga VI mid axillar line/dorsal axillar line ataupun dapat juga di ruang antar iga II di garis midclavicula. Setelah trokar masuk ke rongga pleura, busi penusuk dicabut dan tinggal selontongan pipa. Drain dimasukkan melalui selontongan tersebut. Pemasukan drain diarahkan ke atas apabila masuknya di ruang antar iga VI. Bila masuknya di ruang antar iga II di arahkan ke bawah. Pipa khusus atau kateter tersebut kemudian dihubungkan dengan pipa lebih panjang dan terakhir dengan pipa kaca yang dimasukkan ke dalam air di dalam botol. Masuknya pipa kaca ke dalam air, sebaiknya 2 cm dari permukaan air, supaya gelembung udara mudah keluar.
• Bullow Drainage / WSD
Pada trauma toraks, WSD dapat berarti :
a. Diagnostik :
Menentukan perdarahan dari pembuluh darah besar atau kecil, sehingga dapat ditentukan perlu operasi torakotomi atau tidak, sebelum penderita jatuh dalam shoks.
b.Terapi :
Mengeluarkan darah atau udara yang terkumpul di rongga pleura. Mengembalikan tekanan rongga pleura sehingga "mechanis of breathing" dapat kembali seperti yang seharusnya.
c. Preventive :
Mengeluarkan udaran atau darah yang masuk ke rongga pleura sehingga "mechanis of breathing" tetap baik.

H. PENGKAJIAN
- Riwayat keperawatan
Klien terdapat penyakit paru, bila ditemukan adanya iritan pada paru yang meningkat maka mungkin terdapat riwayat merokok. Penyakit yang sering ditemukan adalah pneumotoraks, hemotoraks, pleural effusion atau empiema. Klien bisa juga ditemukan adanya riwayat trauma dada yang mendadak yang memerlukan tindakan pembedahan.
- Pemeriksaan
Adanya respirasi ireguler, takhipnea, pergeseran mediastinum, ekspansi dada asimetris. Adanya ronchi atau rales, suara nafas yang menurun, perkursi dada redup menunjukan adanya pleural effusion, sering ditemui sianosis perifer atau sentral, takikardia, hipotensi,dan nyeri dada pleural.
- Faktor perkembangan/psikososial
Klien mengalami kecemasan, ketakutan terhadap nyeri, prosedur atau kematian, karena penyakit atau tindakan. Persepsi dan pengalaman lampau klien terhadap tindakan ini atau hospitalisasi akan mempengaruhi keadan psikososial klien.
- Pengetahuan klien dan keluarga
Pengkajian diarahkan pada pengertian klien tentang tindakan WSD, tanda atau gejala yang menimbulkan kondisi ini, tingkat pengetahuan, kesiapan dan kemauan untuk belajar.

I. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa Pre Operasi
1. Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan menurunnya ekspansi paru sekunder terhadap peningkatan tekanan dalam rongga pleura.
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif yang berhubungan dengan adanya akumulasi secret jalan nafas.
3. Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan penurunan kemampuan ekspansi paru dan kerusakan membrane alveolar kapiler.
4. Cemas yang berhubungan dengan adanya ancaman kematian yang dibayangkan (ketidakmampuan untuk bernafas).
5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan informasi mengenai prose penyakit dan pengobatan (WSD)
Diagnosa Post Operasi
6. Perubahan kenyamanan : Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan.
7. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidaknyamanan sekunder akibat pemasangan WSD.
8. Kerusakan integritas jaringan yang berhubungan dengan adanya luka pasca pemasangan WSD.
9. Risiko tinggi trauma yang berhubungan dengan tidak optimalnya drainage selang sekunder akibat pipa WSD terjepit
10. Resiko infeksi berhubungan dengan insersi WSD


DAFTAR PUSTAKA

Doengoes, Marilynn, dkk, (2000).Rencana Asuhan Keperawatan ; Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, edisi 3, alih bahasa : I Made Kariasa dan Ni Made S. Jakarta : EGC.

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Pernafasan. Jakarta : Salemba Medika

Smeltzer, Suzanne C, Brenda G. Bare. 2002. Keperawatan Medikal BedahBrunner & Suddarth edisi 8. Jakarta : EGC.

Subianto, Teguh. 2009. Kumpulan Askep, Asuhan Keperawatan, Pathway, dan Ilmu Kesehatan. Retrieved : Jumat, 19 Maret 2010, from http://teguhsubianto.blogspot.com

Tjokronegoro, Arjatmo.2001. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi II. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
 alemba Medika

Smeltzer, Suzanne C, Brenda G. Bare. 2002. Keperawatan Medikal BedahBrunner & Suddarth edisi 8. Jakarta : EGC.

Subianto, Teguh. 2009. Kumpulan Askep, Asuhan Keperawatan, Pathway, dan Ilmu Kesehatan. Retrieved : Jumat, 19 Maret 2010, from http://teguhsubianto.blogspot.com

Tjokronegoro, Arjatmo.2001. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi II. Jakarta : Balai Penerbit FKUI

KANDUNGAN & BAHAYA MEROKOK

KANDUNGAN & BAHAYA MEROKOK

Sosiasikanlah karena....
Sosialisasi adalah salah satu proses yang dilakukan manusia sebagai makhluk sosial.Sebagai sebuah proses sosialisasi proses ,sosialisasi memiliki satu tujuan yang diindikasi keberhasilannya dapat diukur .Sosialisasi memiliki beberapa tahapan dan dipengaruhi oleh berbagai faktor.Dalam bersosialisasi ,setiap individu harus memiliki konsep diri.Konsep diri memiliki kepribadian seseorang.Pembentukan keopribadian memerlukan media sosialisasi.Selain memiliki media ,sosiologi juga dibagi dala beberapa jenis. Dalam hidup bermasyarakat ,diperlukan aturan-atura tertentu.Nilai dan norma sosial termasuk aturan yang dianut masyarakat.Norma sosial memiliki tingkatan.Norma dan nilai sosial berhubungan erat dngan sosialisasi .Semua hal tersebut bermuara pada pembentukan kepribadian seseorang.Kepribadian –kepribadian tiap individu akan berdampak pada kebudayaan masyarakat itu sendiri.
Setiap individu dalam bermasyarakat tidak hidup dengan cara seragam.Ada cara hidup yang sesuai dengan aturan tapi ada pula yang menyimpang .Perilaku menyimpang dalam masyarakat dibentuk melalui suatu proses.Beberapa ahli mengemukakan teori mngenai perilaku menyimpang ini.Umumnya ,perilaku menyimpang terjadi karena faktor perbedaan.Perilaku menyimpang dapat dikategorikan berdasarkan jenis ,ciri, dan sifatnya.Untuk mengatasi perilaku menyimpang dan sikap –sikap antisional,diperlukan pengendalian sosial .Pengendalian sosial dikategorikn berdasarkan sifat ,poses ,dan fungsinya .Karena sifatnya yang penting,maka pengendalian sosial perlu dilembagakan.Pengendalian sosial dilakukan dengan cara formal dan nonformal.Jka pengendalian sosial tidak berfungsi ,tentunya masyarakat dan individu akan merasakan dampaknya yang negatif.
Pengaruh Rokok Terhadap Kepribadian

A. Pengertian
  Rokok adalah racun yang dapat menyebabkan gejala yang sangat fatal bila tidak dihentikan.Kebiasaan merokok selain mempengaruhi kesehatan juga mempengaruhi kepribadian .Perokok biasanya berkepribadian yang keras dan apabila tidak merokok sekali saja maka kelakuaannya semakin menjadi-jadi.
  Perlu diketahui ,asap rokok mengandung lebih dari 4000 bahan kimia berbahaya .Sekitar 60 diantaranya dikenal bersifat Karsinogenik (penyebab terjadinya kanker) ,bahan kimia yang berbahaya dalam rokok diantaranya adalah:
? ASETON ?Penghapus cat kuku
? AMONIAK ?Bahan pembersih lantai
? ARSENIK ?Racun tikus
? BUTAN ?Bahan bakar korek api
? KADMIUM ?Dipakai pada baterai mobil
? KARBON MONOKSIDA ?Gas beracun yang keluar dari knalpot
? DDT ?Obat pembasmi serangga
? HIDROGEN SIANIDA ?Gas racun untuk hukuman mati
? METANOL ?Bahan bakar roket
? NAPTHALENE ?Kapur barus
? TOLUENE ?Bahan pelarut Industri
? VINIKLORIDA ?Bahan
baku plastik PCV

B. Masyarakat yang merokok dan penyebabnya
  Dewasa ini ,rokok bukanlah hal yang tabu bagi semua lapisan masyarakat.Yang biasanya untuk pria ,sekarang tidak asing lagi perempuan memakainya juga.
Berikut ini kami akan mengutarakan alasan perokok dengan penyebab mereka merokok:
? Anak –anak
Anak-anak biasanya merokok disebabkan pengaruh teman sebayanya.Mungkin saja kurang ketatnya pengawasan orang tuanya.Atau juga karena kesibukan orangtua yang akan melantarkan anaknya.Hal ini jarang terjadi,tapi telah kami teliti anak-anak jalanan banyak yang merokok,sebab hidup mereka yang kurang terawat oleh orangtuanya.
? Remaja Remaja adalah masa di mana terjadinya kelabilan jiwa karena telah memasuki fase dari anak-anak menuju fase dewasa.Hasil wawancara kami terhadap remaja yang merokok karena dipengaruhi oleh teman mereka.Karena apabila tidak merokok dikatakan tidak gaul oleh teman-temannya.
? Dewasa
Pada fase dewasa ,alasan merokok karena kebutuhan untuk menenangkan pikiran para orang dewasa.Itu disebabkan banyaknya opini masyarakat yang apabila merokok dapat mengurangi beban pikiran.

C. Sudut pandang Biologi
Sebagian besar ilmuan abad 19 perilaku menyimpang disebabkan faktor biologis,seperti tipe sel tubuh.Ilmuwan seperti Lombroso,Kretschemer,Hooton,Von Henting ,dan Sheldon.Hasil penelitian menunjukkan orang yang mempunyai tipe tubuh tertentu cenderung melakukan perbuatan menyimpang.
? Sheldon mengidentifikasi tipe tubuh menjadi 3 dasar: endomorph(bundar,halus,gemuk),dan mesomorph (berotot,atletis),dan echtomorph(tipis,kurus) mempunyai potensi masing-masing.Bagi perokok mempunyai bibir yang berwarna hitam,nafas berbau rokok,dan lain-lain.
? Cesare Lombroso (kriminolog Italia) berpendapat orang yang jahat mempunyai ciri rahang besardan tulang pipi panjang ,kelainan mata yang khas ,tangan,jari,kaki yang relatif besar,susunan gigi yang abnormal.Dari ciri di atas perokok umumnya penjahat.Orang beranggapan dengan merokok akan terlihat kuat.

D. Sudut pandang Sosiologi
Teori psikologi berbeda dengan teori biologi.Teori ini beranggapan bahwa seeorang yang mengalami penyakit mental yang berupa gangguan dengan bentuk perilaku menyimpang.
Sigmund Freud membagi diri manusia atas tiga dasar yaitu:
? Id ? Bagian diri yang bersifat tidak sadar ,naluriah dan implusif terpengaruh oleh gerak hati
? Ego ?Bagian diri yang bersifat dasar dan rasional(penjaga pintu kepribadian)
? Superego ? Bagian diri yang telah menyerap nilai-nilai kulural dan berfungsi sebagai suara hati.

E. Pencegahan Merokok
Merokok adalah kebiasaan yang buruk.Karena selain merusak kesehatan juga merusak kepribadian kita.Untuk tidak merokok lakukan pencegahan dini.Pelajari dari pengalaman berbagai orang yang mengeluh saat merokok sehingga kita bisa merasakan dampak buruk merokok.

F.HASIL ANGKET SMA 1 PADANG
NO. Pernyataan Kelas 10 Kelas 11 Kelas 12
1 Sejak kapan anda merokok? Sejak SD kelas 6 Sejak SMP Sejak
2 Kenapa anda merokok? Ngikutin teman Syarat untuk diterima geng gua Penasaran
3 Siapa yang mempengaruhi anda untuk merokok? Teman –teman Teman Teman
4 Bagaimana tanggapan orangtua terhadap anda? Marah besar. Ngak ada ,karna mereka belum tahu Sangat marah
5 Apakah merokok mengurangi prestasi anda di sekolah? Tidak karna merokok untuk iseng aja. Tidak karna merokok buat hobi. Tidak
6 Apa hal yang buruk selama anda merokok? Kepala pusing. Kepala sering pusing Suka batuk
7 Apakah ada manfaat merokok bagi anda? Menyegarkan pikiran Agar good mod Untuk penegaran pikiran
8 Apakah ada Keinginan untuk behenti merokok? Ya, tapi gak sekarang Ada sih,masih nanggung Tentu.Tapi berat rasanya.
Bahwa merokok dimulai saat masa puber yakni besarnya keingintahuan untuk mencoba segala sesuatu.Yang mana mereka dipengaruhi oleh teman baik mereka sendiri.Peran orang tua sangat penting dalam membentuk pribadi anak.Di sekolah mereka tidak terganggu tapi bila kebiasaan merokok dihentikan atau dikurangi membuat mereka terganggu.Mereka menyadari efek samping dari merokok ,tapi enggan untuk berhenti karena candu berat.

Daftar Pustaka
Kun Maryati dan Juju Suryawati.2004.Sosiologi SMA Kelas 10.Jakarta:PT Erlangga Esis.
Tim Kreatif HAYATI.MODUL SOSIOLOGI Untuk SMA Kelas X:Solo:CV HAYATI

ASKEP POST OP APENDISITIS

Pembedahan di indikasikan bila diagnose apendisitis telah di tegakkan antibiotic dan cairan itu di berikan sampai pembedahan di lakukan dapat di berikan setelah diagnose di tegakkan apedektomi ( pembedahan untuk mengangkat apendiks ) di lakukan seberapa mungkin untuk menurunkan resiko perforasi, apendektomi dapat di lakukan di bawah anestesi umum atau spinal dengan insiti abdomen bawah atau dengan laparuskop, merupakan metode terbaru yang sangat efektif. Konsep asuhan keperawatan sebelum operasi di lakukan klien perlu di persiapkan secara fisik maupun psikis, di samping itu juga klien perlu di berikan latihan-latihan fisik ( pernafasan dalam, gerakan kaki dan duduk ) untuk di gunakan dalam periode post operatif, hal ini penting oleh karena banyak klien merasa cemas atau khwatir bila akan di operasi dan juga terhadap penerima anastesi.
  1. ////////////////////////////////////////////////////
    A. Definisi
Appendiks akut adalah peradangan dari appendiks vermiformis yang merupakan penyebab umum dari akut abdomen (Junaidi, dkk, 1982). Appendisitis adalah peradangan dari suatu appendiks.
Appendisitis akut adalah keadaan yang disebabkan oleh peradangan yang mendadak pada suatu appendiks ( Baratajaya, 1990).
  1. B. Anatomi  Fisiologi
Embriologi appendiks berhubungan dengan caecum, tumbuh dari ujung inferiornya.  Tonjolan appendiks pada neonatus berbentuk kerucut yang menonjol pada  apek caecum sepanjang 4,5 cm.  Pada orang dewasa panjang appendiks rata-rata 9 – 10 cm, terletak posteromedial caecum kira-kira 3 cm inferior valvula ileosekalis.  Posisi appendiks bisa retrosekal, retroileal,subileal atau dipelvis, memberikan gambaran klinis yang tidak sama.  Persarafan para simpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri mesenterika superior dari arteri appendikkularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari nervus torakalis x, karena itu nyeri viseral pada appendiks bermula sekitar umbilikus.  Perdarahan pada appendiks berasal dari arteri appendikularis yang merupakan artei tanpa kolateral.  Jika arteri ini tersumbat, misalnya trombosis pada infeksi maka appendiks akan mengalami gangren.
Appendiks menghasilkan lendir 1 – 2 ml perhari yang bersifat basa mengandung amilase, erepsin dan musin.  Lendir itu secara normal dicurahkan ke dalam bumen dan selanjutnya mengalir ke caecum.  Hambatan aliran lendir di muara appendiks berperan pada patofisiologi appendiks. Imunoglobulin sekretor yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk appendiks, ialah Ig A. Imunglobulin itu sangat efektif sebagai perlindungan terhadap infeksi tapi pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem Imunoglobulin tubuh sebab jaringan limfe kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlah disaluran cerna dan seluruh tubuh. ( R.Syamsu ; 1997)
  1. Etiologi
    Apendiksitis merupakan infeksi bakteri yang disebabkan oleh obstruksi atau penyumbatan akibat:
    1. Hiperplasia dari folikel limfoid
2. Adanya fekalit dalam lumen apendiks
3. Tumor apendiks
4. Adanya benda asing seperti cacing askariasis
5. Erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E. Histilitica.
Menurut penelitian, epidemiologi menunjukkan kebiasaan makan makanan rendah serat akan mengakibatkan konstipasi yang dapat menimbulkan apendiksitis. Hal tersebut akan meningkatkan tekanan intra sekal, sehingga timbul sumbatan fungsional apendiks dan meningkatkan pertumbuhan kuman flora pada kolon.
  1. D. Tanda dan Gejala
Nyeri terasa pada abdomen kuadran bawah dan biasanya disertai oleh demam ringan, mual, muntah dan hilangnya nafsu  makan. Nyeri tekan lokal pada titik Mc. Burney bila dilakukan tekanan. Nyeri tekan lepas mungkin akan dijumpai.
Derajat nyeri tekan, spasme otot, dan apakah terdapat konstipasi atau diare tidak tergantung pada beratnya infeksi dan lokasi apendiks. Bila apendiks melingkar di belakang sekum, nyeri dan nyeri tekan dapat terasa di daerah lumbal ; bila ujungnya ada pada pelvis, tanda-tanda ini hanya dapat diketahui pada pemeriksaan rektal. Nyeri pada defekasi menunjukkan bahwa ujung apendiks dekat dengan kandung kemih atau ureter. Adanya kekekuan pada bagian bawah otot rektum kanan dapat terjadi.
Tanda Rovsing dapat timbul dengan melakukan palpasi kuadran bawah kiri, yang secara paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa pada kuadran bawah kanan. Apabila apendiks telah ruptur, nyeri dan dapat lebih menyebar ; distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitikdan kondisi klien memburuk.

  1. E. Klasifikasi appendicitis (Ellis, 1989)
1.   Acute appendicitis tanpa komplikasi. (cataral appendicitis)
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mucosa saja. Appendix kadang tampak normal, atau hanya hiperemia saja. Bila appendix tersebut dibuka, maka akan tampak mukosa yang menebal, oedema dan kemerahan. Kondisi ini disebabkan invasi bakteri dari jaringan limpoid ke dalam dinding appendix. Karena lumen appendix tak tersumbat. Maka hal ini hanya menyebabkan peradangan biasa. Bila jaringan limpoid di dinding appendix mengalami oedema, maka akam mengakibatkan obstruksi lumen appendix, yang akan mempengaruhi feeding sehingga appendix menjadi gangrena, seterusnya timbul infark. Atau hanya mengalami perforasi (mikroskopis), dalam hal ini serosa menjadi kasar dan dilapisi eksudat fibrin Post appendicitis acute, kadang-kadnag terbentuk adesi yang mengakibatkan kinking, dan kejadian ini bisa membentuk sumbatan pula
2. .   Acute appendicitis dengan komplikasi:
Peritonitis
Abses atau infiltrat. Merupakan appendicitis yang berbahaya, karena appendix menjadi lingkaran tertutup yang berisi “fecal material”, yang telah mengalami dekomposisi. Perbahan setelah terjadinya sumbatan lumen appendix tergantung daripada isi sumbatan. Bila lumen appendix kosong, appendix hanya mengalami distensi yang berisi cairan mucus dan terbentuklah mucocele. Sedangkan bakteria penyebab, biasanya merupakan flora normal lumen usus berupa aerob (gram + dan atau gram – ) dan anaerob. Pada saat appendix mengalami obstruksi, terjadi penumpukan sekresi mucus, yang akan mengakibatkan proliferasi bakteri, sehingga terjadi penekanan pada moukosa appendix, dikuti dengan masuknya bakteri ke dalam jaringan yang lebih dalam lagi. Sehingga timbulah proses inflamasi dinding appendix, yang diikuti dengan proses trombosis pembuluh darah setempat. Karena arteri appendix merupakan end arteri sehingga menyebabkan daerah distal kekurangan darah, terbentuklah gangrene yang segera diikuti dengan proses nekrosis dinding appendix.
Dikesempatan lain bakteri mengadakan multiplikasi dan invesi melalui erosi mukosa, karena tekanan isi lumen, yang berakibat perforasi dinding, sehingga timbul peritonitis. Proses obstruksi appendix ini merupakan kasus terbanyak untuk appendicitis. Dua per tiga kasus gangrene appendix, fecalith selalu didapatkan bila kondisi penderita baik, maka perforasi tersebut akan dikompensir dengan proses pembentukan dinding oleh karingan sekitar, misal omentum dan jaringan viscera lain, terjadilah infiltrat atau (mass), atau proses pultulasi yang mengakibatkan abses periappendix
  1. F. Patofisiologi
Penyebab utama appendisitis adalah obstruksi  penyumbatan yang dapat disebabkan oleh hiperplasia dari folikel limfoid merupakan penyebab terbanyak,adanya fekalit dalam lumen appendiks.  Adanya benda asing seperti cacing, stiktura karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, sebab lain misalnya keganasan (karsinoma karsinoid).
Obsrtuksi apendiks itu menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa terbendung, makin lama mukus yang terbendung makin banyak dan menekan dinding appendiks oedem serta merangsang tunika serosa dan peritonium viseral.  Oleh karena itu persarafan appendiks sama dengan usus yaitu torakal X maka rangsangan itu dirasakan sebagai rasa sakit disekitar umblikus. Mukus yang terkumpul itu lalu terinfeksi oleh bakteri menjadi nanah, kemudian timbul gangguan aliran vena, sedangkan arteri belum terganggu, peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritomium parietal setempat, sehingga menimbulkan rasa sakit dikanan bawah, keadaan ini disebut dengan appendisitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu maka timbul alergen dan ini disebut dengan appendisitis gangrenosa.  Bila dinding apendiks yang telah akut itu pecah, dinamakan appendisitis perforasi.  Bila omentum usus yang berdekatan dapat mengelilingi apendiks yang meradang atau perforasi akan timbul suatu masa lokal, keadaan ini disebut sebagai appendisitis abses.  Pada anak – anak karena omentum masih pendek dan tipis, apendiks yang relatif lebih panjang , dinding apendiks yang lebih tipis dan daya tahan tubuh yang masih kurang, demikian juga pada orang tua karena telah ada gangguan pembuluh darah, maka perforasi terjadi lebih cepat.  Bila appendisitis infiltrat ini menyembuh dan kemudian gejalanya hilang timbul dikemudian hari maka terjadi appendisitis kronis (Junaidi ; 1982).
  1. G. Komplikasi
Peritonitis :
Peritonitis lokal merupakan akibat dari mikroperforasi dari appendicitis yang telah mengalami gangrene. Sedangkan peritonitis umum adalah merupakan tindak lanjut daripada peritonitis lokal tersebut. Bertambahnya rasa nyeri, defans musculer yang meluas, distensi abdomen, bahkan ileus paralitik, merupakan gejala-gejala peritonitis umum. Bila demam makin tinggi dan timbul gejala-gejala sepsis, menunjukkan peritonitis yang makin berat.
Abses / infiltrat :
Merupakan akibat lain dari perforasi. Teraba masa lunak di abdomen kanan bawah. Seperti tersebut diatas karena perforasi terjadilah “walling off” (pembentukan dinding) oleh omentum atau viscera lainnya, sehingga terabalah
massa (infiltrat) di regio abdomen kanan bawah tersebut. Masa mula-mula bisa berupa plegmon, kemudian berkembang menjadi rongga yang berisi pus. Dengan USG bisa dideteksi adanya bentukan abses ini. Untuk massa atau infiltrat ini, beberapa ahli menganjurkan anti biotika dulu, setelah 6 minggu kemudian dilakukan appendektomi. Hal ini untuk menghindari penyebaran infeksi
Komplikasi utama apendiksitis adalah perforasi apendiks, yang dapat berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insiden perforasi adalah 105 sampai 32%. Insiden lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi secara umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu 37,7o C atau lebih tinggi, nyeri tekan abdomen yang kontinue.
  1. H. Pemeriksaan Penunjang
    1. Laboratorium
Nilai leukosit dan neutrofil akan meningkat, walaupun hal ini bukan hasil yang karakteristik. Penyakit infeksi pada pelvis terutama pada wanita akan memberikan gambaran laborotorium yang terkadang sulit dibedakan dengan apendisitis akut  Pemeriksaan laboratorium merupakan alat bantu diagnosis. Pada dasarnya inflamasi  merupakan reaksi lokal dari jaringan hidup terhadap suatu jejas. Reaksi tersebut meliputi reaksi vaskuler, neurologik, humoral dan seluler. Fungsi inflamasi di sini adalah memobilisasi semua bentuk pertahanan tubuh dan membawa mereka pada tempat yang terkena jejas dengan cara: mempersiapkan berbagai bentuk fagosit (lekosit polimorfonuklear, makrofag)  pada tempat tersebut, pembentukan berbagai macam antibodi pada daerah inflamasi,  menetralisir dan mencairkan iritan, membatasi perluasan inflamasi dengan pembentukan fibrin dan terbentuknya  dinding jaringan granulasi.
Pada anak dengan keluhan dan pemeriksaan fisik yang karakteristik apendisitis akut, akan ditemukan pada pemeriksaan darah adanya lekositosis 11.000-14.000/mm3, dengan pemeriksaan hitung jenis menunjukkan pergeseran kekiri hampir 75%. Jika jumlah lekosit lebih dari 18.000/mm3 maka umumnya sudah terjadi perforasi dan peritonitis (Raffensperger, 1990). Menurut Ein (2000) pada penderita apendisitis akut ditemukan jumlah lekosit antara 12.000-20.000/mm3 dan bila terjadi perforasi atau peritonitis jumlah lekosit antara 20.000-30.000/mm3.  Sedang Doraiswamy (1979), mengemukakan bahwa komnbinasi antara kenaikan angka lekosit dan granulosit adalah yang dipakai untuk pedoman menentukan diagnosa appendicitis acut. Tes laboratorium untuk appendicitis bersifat kurang spesifik., sehingga hasilnya juga kurang dapat dipakai sebagai konfirmasi penegakkkan diagnosa. Jumlah lekosit untuk appendisitis akut adalah >10.000/mmk dengan pergeseran kekiri pada hemogramnya (>70% netrofil). Sehingga gambaran lekositosis dengan peningkatan granulosit dipakai sebagai pedoman untuk appendicitis acute (Bolton et al, 1975). Kontroversinya adalah beberapa penderita dengan appendicitis acut, memiliki jumlah lekosit dan granulosit tetap normal (Nauts et al, 1986).
C-rective protein (CRP).  Pemeriksaan urinalisa dapat digunakan sebagai konfirmasi dan menyingkirkan kelainan urologi yang menyebabkan nyeri abdomen.
2.  Foto Polos abdomen
Mungkin terlihat adanya fekalit pada abdomen sebelah kanan bawah yang sesuai dengan lokasi apendiks, gambaran ini ditemukan pada 20% kasus (Cloud, 1993). Kalau peradangan lebih luas dan membentuk infiltrat maka usus pada bagian kanan bawah akan kolaps. Dinding usus edematosa, keadaan seperti ini akan tampak pada daerah kanan bawah abdomen kosong dari udara. Gambaran udara seakan-akan terdorong ke pihak lain. Proses peradangan pada fossa iliaka kanan akan menyebabkan kontraksi otot sehingga timbul skoliosis ke kanan. Gambaran ini tampak pada penderita apendisitis akut (Mantu, 1994).  Bila sudah terjadi perforasi, maka pada foto abdomen tegak akan tampak udara bebas di bawah diafragma. Kadang-kadang udara begitu sedikit sehingga perlu foto khusus untuk melihatnya.
Kalau sudah terjadi peritonitis yang biasanya disertai dengan kantong-kantong pus, maka akan tampak udara yang tersebar tidak merata dan usus-usus yang sebagian distensi dan mungkin tampak cairan bebas, gambaran lemak preperitoneal menghilang, pengkaburan psoas shadow. Walaupun terjadi ileus paralitik tetapi mungkin terlihat pada beberapa tempat adanya permukaan cairan udara (air-fluid level) yang menunjukkan adanya obstruksi (Raffensperger, 1990; Mantu, 1994). Foto x-ray abdomen dapat mendeteksi adanya fecalith (kotoran yang mengeras dan terkalsifikasi, berukuran sebesar kacang polong yang menyumbat pembukaan appendik) yang dapat menyebabkan appendisitis. Ini biasanya terjadi pada anak-anak. Foto polos abdomen supine pada abses appendik kadang-kadang memberi pola bercak udara dan air fluid level pada posisi berdiri/LLD ( decubitus ), kalsifikasi bercak rim-like( melingkar ) sekitar perifer mukokel yang asalnya dari appendik.  Pada appendisitis akut, kuadran kanan bawah perlu diperiksa untuk mencari appendikolit : kalsifikasi bulat lonjong, sering berlapis.
  1. Pemeriksaan radiologi dengan kontras barium enema hanya digunakan pada kasus-kasus menahun. Pemeriksaan radiologi dengan barium enema dapat menentukan penyakit lain yang menyertai apendisitis
  2. Ultrasonografi
Apendiks yang meradang tampak sebagai lumen tubuler, diameter lebih dari 6 mm, tidak ada peristaltik pada penampakan longitudinal, dan gambaran target pada penampakan transversal (Gustavo GR, 1995) Keadaan awal apendisitis akut ditandai dengan perbedaan densitas pada lapisan apendiks, lumen yang utuh, dan diameter 9 – 11 mm. Keadaan apendiks supurasi atau gangrene ditandai dengan distensi lumen oleh cairan, penebalan dinding apendiks dengan atau tanpa apendikolit. Keadaan apendiks perforasi ditandai dengan tebal dinding apendiks yang asimetris, cairan bebas intraperitonial, dan abses tunggal atau multipel (Gustavo GR, 1995).
  1. Computed Tomography Scanning (CT-Scan)
Perbandingan pemeriksaan penunjanng apendisitis akut:

Ultrasonografi
CT-Scan
Sensitivitas
85%
90 – 100%
Spesifisitas
92%
95  -  97%
Akurasi
90 – 94%
94 – 100%
Keuntungan
Aman
Lebih akurat

relatif tidak mahal
Mengidentifikasi abses dan flegmon lebih baik

Dapat mendignosis kelainan lain pada wanita
Mengidentifikasi apendiks normal lebih baik

Baik untuk anak-anak

Kerugian
Tergantung operator
Mahal

Sulit secara tehnik
Radiasi ion

Nyeri
Kontras

Sulit di RS daerah
Sulit di RS daerah
  1. Laparoskopi (Laparoscopy)
  2. Histopatologi
Difinisi histopatologi apendisitis akut:
1
Sel granulosit pada mukosa dengan ulserasi fokal atau difus di lapisan epitel.
2
Abses pada kripte dengan sel granulosit dilapisan epitel.
3
Sel granulosit dalam lumen apendiks dengan infiltrasi ke dalam lapisan epitel.
4
Sel granulosit diatas lapisan serosa apendiks dengan abses apendikuler,

dengan atau tanpa terlibatnya lapisan mukusa.
5
Sel granulosit pada lapisan serosa atau muskuler tanpa abses mukosa dan

keterlibatan lapisan mukosa, bukan apendisitis akut tetapi periapendisitis.
  1. I. Penatalaksanaan
Pada apendiksitis akut, pengobatan yang paling baik adalah operasi apendiks. Dalam waktu 48 jam harus dilakukan. Penderita di obsevarsi, istirahat dalam posisi fowler, diberikan antibiotik dan diberikan makanan yang tidak merangsang persitaltik, jika terjadi perforasi diberikan drain diperut kanan bawah.
a. Tindakan pre operatif, meliputi penderita di rawat, diberikan antibiotik dan kompres untuk menurunkan suhu penderita, pasien diminta untuk tirabaring dan dipuasakan
b. Tindakan operatif ; apendiktomi

c. Tindakan post operatif, satu hari pasca bedah klien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur selama 2 x 30 menit, hari berikutnya makanan lunak dan berdiri tegak di luar kamar, hari ketujuh luka jahitan diangkat, klien pulang.
  1. J. Asuhan Keperawatan
    1. 1. Pengkajian
a.  Identitas
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, tanggal atau jam masuk rumah sakit, nomor register, diagnosa, nama orang tua, alamat, umur pendidikan, pekerjaan, pekerjaan orang tua, agama dan suku bangsa.
b.  Riwayat penyakit sekarang
Klien dengan post appendiktomy mempunyai keluhan utama nyeri yang disebabkan insisi abdomen.
c.  Riwayat penyakit dahulu
Meliputi penyakit apa yang pernah diderita oleh klien seperti hipertensi, operasi abdomen yang lalu, apakah klien pernah masuk rumah sakit, obat-abatan yang pernah digunakan apakah mempunyai riwayat alergi dan imunisasi apa yang pernah diderita.
d.  Riwayat penyakit keluarga
Adalah keluarga yang pernah menderita penyakit diabetes mellitus, hipertensi, gangguan jiwa atau penyakit kronis lainnya uapaya yang dilakukan dan bagaimana genogramnya .
e.  Pola Fungsi Kesehatan
1)      Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Adakah kebiasaan merokok, penggunaan obat-obatan, alkohol dan kebiasaan  olah raga (lama frekwensinya), bagaimana status ekonomi keluarga kebiasaan merokok dalam mempengaruhi lamanya penyembuhan luka.
2)      Pola Tidur dan Istirahat
Insisi pembedahan dapat menimbulkan nyeri yang sangat sehingga dapat mengganggu kenyamanan pola tidur klien.
3)      Pola aktifitas
Aktifitas dipengaruhioleh keadaan dan malas bergerak karena rasa nyeri luka operasi, aktifitas biasanya terbatas karena harus bedrest berapa waktu lamanya setelah pembedahan.
4)      Pola hubungan dan peran
Dengan keterbatasan gerak kemungkinan penderita tidak bisa melakukan peran baik dalam keluarganya dan dalam masyarakat.
penderita mengalami emosi yang tidak stabil.
5)      Pola sensorik dan kognitif
Ada tidaknya gangguan sensorik nyeri, penglihatan, pearaan serta pendengaran, kemampuan berfikir, mengingat masa lalu, orientasi terhadap orang tua, waktu dan tempat.
6)      Pola penanggulangan  stress
Kebiasaan klien yang digunakan dalam mengatasi masalah.
7)      Pola tata nilai dan kepercayaan
Bagaimana keyakinan klien pada agamanya dan bagaimana cara klien mendekatkan diri dengan tuhan selama sakit.
  1. 2. Pemeriksaan fisik
1.   Status Kesehatan umum
Kesadaran biasanya kompos mentis, ekspresi wajah menahan sakit tanpa sakit ada tidaknya kelemahan.
2.  Integumen
Ada tidaknya oedem, sianosis, pucat, pemerahan luka pembedahan pada abdomen sebelah kanan bawah .
3. Kepala dan Leher
Ekspresi wajah kesakitan  pada konjungtiva lihat apakah ada warna     pucat.
4.   Torax dan Paru
Apakah bentuknya simetris, ada tidaknya sumbatan jalan nafas, gerakan cuping hidung maupun alat Bantu nafas frekwensi pernafasan biasanya normal (16 – 20 kali permenit).  Apakah ada ronchi, whezing, stridor.
5.  Abdomen
Pada post operasi biasanya sering terjadi ada tidaknya pristaltik pada usus ditandai dengan distensi abdomen, tidak flatus dan mual, apakah bisa kencing spontan atau retensi urine, distensi supra pubis, periksa apakah produksi urine cukup, keadaan urine apakah jernih, keruh atau hematuri jika dipasang kateter periksa apakah mengalir lancar, tidak ada pembuntuan serta terfiksasi dengan baik.
6.  Ekstremitas
Apakah ada keterbatasan dalam aktivitas karena adanya nyeri yang hebat, juga apakah ada kelumpuhan atau kekakuan.
  1. K. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan
a. Pre operasi
1. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan muntah pre operasi.
2. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan distensi jaringan usus oleh inflamasi.
3. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan.
b. Post operasi
1. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan adanya luka post operasi apendektomi.
2. gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berkurang baehubungan denga anorexia, mual.
3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan insisi bedah. Kurang pengetahuan tentang perawatan dan penyakit berhubungan dengan kurang informasi.
  1. Perencanaan
    1. Persiapan umum operasi
a. Memperkenalkan klien dan kerabat dekatnya tentang fasilitas rumah sakit untuk mengurangi rasa cemas klien dan kerabatnya (orientasi lingkungan).
  1. Mengukur tanda-tanda vital.
  2. Mengukur berat badan dan tinggi badan.
  3. Kolaborasi pemeriksaan laboratorium yang penting (Ht, Serum Glukosa, Urinalisa).
  4. Wawancara.
  5. Persiapan klien malam sebelum operasi
Empat hal yang perlu diperhatikan pada malam hari sebelum operasi :
a. Persiapan kulit

b.  Persiapan saluran cerna
  1. Persiapan kasus yang dilakukan pada saluran cerna berguna untuk :
    1. Mengurangi kemungkinan bentuk dan aspirasi selama anestasi.
2. Mengurangi kemungkinan obbstruksi usus.
3.Mencegah infeksi fases saat operasi.
Untuk mencegah tiga hal tersebut dilakukan :
  1. Puasa dan pembatasan makan dan minum.
  2. Pemberian enema jika perlu.
  3. Memasang tube intestine atau gaster jika perlu.
  4. Jika klien menerimaanastesi umum tidak boleh makan dan minum selama 8 – 10 jam sebelum operasi : mencegah aspirasi gaster. Selang gastro intestinal diberikan malam sebelum atau pagi sebelum operasi untuk mengeluarkan cairan intestinal atau gester.
  5. Persiapan untuk anastesi
  6. Ahli anastesi selalu berkunjunng pada pasien pada malam sebelum operasi untuk melekukan pemeriksaan lengkap kardiovaskuler dan neurologis. Hal ini akan menunjukkan tipe anastesi yang akan digunakan selama operasi.
Meningkatkan istirahat dan tidur
Persiapan pagi hari sebelum operasi klien dibangunkan 1 (satu) jam sebelum obat-obatan pre operasi :
  1. Mencatat tanda-tanda vital
  2. Cek gelang identitas klien
  3. Cek persiapan kulit dilaksanakan dengan baik
  4. Cek kembali instruksi khusus seperti pemasangan infus
  5. Yakinkan bahwa klien tidak makan dalam 8 jam terakhir
  6. Anjurkan klien untuk buang air kecil
  7. Perawatan mulut jika perlu
  8. Bantu klien menggunakan baju RS dan penutup kepala
  9. Hilangkan cat kuku agar mudah dalam mengecek tanda-tanda hipoksia
1) Intervesi pre operasi
  1. Obsevasi tanda-tanda vital
  2. Kaji intake dan output cairan
  3. Auskultasi bising usus
  4. Kaji status nyeri : skala, lokasi, karakteristik
  5. Ajarkan tehnik relaksasi
  6. Beri cairan intervena
  7. Kaji tingkat ansietas
  8. Beri informasi tentang proses penyakit dan tindakan
2) Intervensi post operasi
  1. Observasi tanda-tanda vital
  2. Kaji skala nyeri : Karakteristik, skala, lokasi
  3. Kaji keadaan luka
  4. Anjurkan untuk mengubah posisi seperti miring ke kanan, ke kiri dan duduk.
  5. Kaji status nutrisi
  6. Auskultasi bising usus
  7. Beri informasi perawatan luka dan penyakitnya.
  1. Evaluasi
    a. Gangguan rasa nyaman teratasi
b. Tidak terjadi infeksi
c. Gangguan nutrisi teratasi
d. Klien memahami tentang perawatan dan penyakitnya
e. Tidak terjadi penurunan berat badan
f. Tanda-tanda vital dalam batas normal
DAFTAR PUSTAKA
Baratajaya. 1990. Medikal Bedah. Jakarta: EGC
http://www.ilmubedah.com diposting tanggal 3 agustus 2008
http://www.asuhankeperawtan.com
http://www.perawatblogger.com
M.A. Henderson. 1989. Ilmu Bedah Untuk Perawat, Jakarta: Penerbit Yayasan essentia media
Puruhito, Soetanto  Wibowo, Soetomo Basuki. 1993. Pedoman Tehnik Operasi “OPTEK” Surabaya: UNAIR Press.
Soeparman Sarwono, Waspadji. 1990. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Smeltzer, Suzzane. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah volume 2. Jakarta: EGC.
Sylvia. A Price. 2000. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses Penyakit Jilid ll. Jakarta: EGC.
Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 7. Jakarta: EGC
Win Dejong, R, Syamsuhidayat. 1997., Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC
Entry Filed under: Keperawatan. .