Appendisitis akut adalah keadaan yang disebabkan oleh peradangan yang mendadak pada suatu appendiks ( Baratajaya, 1990).
- B. Anatomi Fisiologi
Appendiks menghasilkan lendir 1 – 2 ml perhari yang bersifat basa mengandung amilase, erepsin dan musin. Lendir itu secara normal dicurahkan ke dalam bumen dan selanjutnya mengalir ke caecum. Hambatan aliran lendir di muara appendiks berperan pada patofisiologi appendiks. Imunoglobulin sekretor yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk appendiks, ialah Ig A. Imunglobulin itu sangat efektif sebagai perlindungan terhadap infeksi tapi pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem Imunoglobulin tubuh sebab jaringan limfe kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlah disaluran cerna dan seluruh tubuh. ( R.Syamsu ; 1997)
- Etiologi
Apendiksitis merupakan infeksi bakteri yang disebabkan oleh obstruksi atau penyumbatan akibat:
1. Hiperplasia dari folikel limfoid
3. Tumor apendiks
4. Adanya benda asing seperti cacing askariasis
5. Erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E. Histilitica.
Menurut penelitian, epidemiologi menunjukkan kebiasaan makan makanan rendah serat akan mengakibatkan konstipasi yang dapat menimbulkan apendiksitis. Hal tersebut akan meningkatkan tekanan intra sekal, sehingga timbul sumbatan fungsional apendiks dan meningkatkan pertumbuhan kuman flora pada kolon.
- D. Tanda dan Gejala
Derajat nyeri tekan, spasme otot, dan apakah terdapat konstipasi atau diare tidak tergantung pada beratnya infeksi dan lokasi apendiks. Bila apendiks melingkar di belakang sekum, nyeri dan nyeri tekan dapat terasa di daerah lumbal ; bila ujungnya ada pada pelvis, tanda-tanda ini hanya dapat diketahui pada pemeriksaan rektal. Nyeri pada defekasi menunjukkan bahwa ujung apendiks dekat dengan kandung kemih atau ureter. Adanya kekekuan pada bagian bawah otot rektum kanan dapat terjadi.
Tanda Rovsing dapat timbul dengan melakukan palpasi kuadran bawah kiri, yang secara paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa pada kuadran bawah kanan. Apabila apendiks telah ruptur, nyeri dan dapat lebih menyebar ; distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitikdan kondisi klien memburuk.
- E. Klasifikasi appendicitis (Ellis, 1989)
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mucosa saja. Appendix kadang tampak normal, atau hanya hiperemia saja. Bila appendix tersebut dibuka, maka akan tampak mukosa yang menebal, oedema dan kemerahan. Kondisi ini disebabkan invasi bakteri dari jaringan limpoid ke dalam dinding appendix. Karena lumen appendix tak tersumbat. Maka hal ini hanya menyebabkan peradangan biasa. Bila jaringan limpoid di dinding appendix mengalami oedema, maka akam mengakibatkan obstruksi lumen appendix, yang akan mempengaruhi feeding sehingga appendix menjadi gangrena, seterusnya timbul infark. Atau hanya mengalami perforasi (mikroskopis), dalam hal ini serosa menjadi kasar dan dilapisi eksudat fibrin Post appendicitis acute, kadang-kadnag terbentuk adesi yang mengakibatkan kinking, dan kejadian ini bisa membentuk sumbatan pula
2. . Acute appendicitis dengan komplikasi:
Peritonitis
Abses atau infiltrat. Merupakan appendicitis yang berbahaya, karena appendix menjadi lingkaran tertutup yang berisi “fecal material”, yang telah mengalami dekomposisi. Perbahan setelah terjadinya sumbatan lumen appendix tergantung daripada isi sumbatan. Bila lumen appendix kosong, appendix hanya mengalami distensi yang berisi cairan mucus dan terbentuklah mucocele. Sedangkan bakteria penyebab, biasanya merupakan flora normal lumen usus berupa aerob (gram + dan atau gram – ) dan anaerob. Pada saat appendix mengalami obstruksi, terjadi penumpukan sekresi mucus, yang akan mengakibatkan proliferasi bakteri, sehingga terjadi penekanan pada moukosa appendix, dikuti dengan masuknya bakteri ke dalam jaringan yang lebih dalam lagi. Sehingga timbulah proses inflamasi dinding appendix, yang diikuti dengan proses trombosis pembuluh darah setempat. Karena arteri appendix merupakan end arteri sehingga menyebabkan daerah distal kekurangan darah, terbentuklah gangrene yang segera diikuti dengan proses nekrosis dinding appendix.
Dikesempatan lain bakteri mengadakan multiplikasi dan invesi melalui erosi mukosa, karena tekanan isi lumen, yang berakibat perforasi dinding, sehingga timbul peritonitis. Proses obstruksi appendix ini merupakan kasus terbanyak untuk appendicitis. Dua per tiga kasus gangrene appendix, fecalith selalu didapatkan bila kondisi penderita baik, maka perforasi tersebut akan dikompensir dengan proses pembentukan dinding oleh karingan sekitar, misal omentum dan jaringan viscera lain, terjadilah infiltrat atau (mass), atau proses pultulasi yang mengakibatkan abses periappendix
- F. Patofisiologi
Obsrtuksi apendiks itu menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa terbendung, makin lama mukus yang terbendung makin banyak dan menekan dinding appendiks oedem serta merangsang tunika serosa dan peritonium viseral. Oleh karena itu persarafan appendiks sama dengan usus yaitu torakal X maka rangsangan itu dirasakan sebagai rasa sakit disekitar umblikus. Mukus yang terkumpul itu lalu terinfeksi oleh bakteri menjadi nanah, kemudian timbul gangguan aliran vena, sedangkan arteri belum terganggu, peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritomium parietal setempat, sehingga menimbulkan rasa sakit dikanan bawah, keadaan ini disebut dengan appendisitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu maka timbul alergen dan ini disebut dengan appendisitis gangrenosa. Bila dinding apendiks yang telah akut itu pecah, dinamakan appendisitis perforasi. Bila omentum usus yang berdekatan dapat mengelilingi apendiks yang meradang atau perforasi akan timbul suatu masa lokal, keadaan ini disebut sebagai appendisitis abses. Pada anak – anak karena omentum masih pendek dan tipis, apendiks yang relatif lebih panjang , dinding apendiks yang lebih tipis dan daya tahan tubuh yang masih kurang, demikian juga pada orang tua karena telah ada gangguan pembuluh darah, maka perforasi terjadi lebih cepat. Bila appendisitis infiltrat ini menyembuh dan kemudian gejalanya hilang timbul dikemudian hari maka terjadi appendisitis kronis (Junaidi ; 1982).
- G. Komplikasi
Peritonitis lokal merupakan akibat dari mikroperforasi dari appendicitis yang telah mengalami gangrene. Sedangkan peritonitis umum adalah merupakan tindak lanjut daripada peritonitis lokal tersebut. Bertambahnya rasa nyeri, defans musculer yang meluas, distensi abdomen, bahkan ileus paralitik, merupakan gejala-gejala peritonitis umum. Bila demam makin tinggi dan timbul gejala-gejala sepsis, menunjukkan peritonitis yang makin berat.
Abses / infiltrat :
Merupakan akibat lain dari perforasi. Teraba masa lunak di abdomen kanan bawah. Seperti tersebut diatas karena perforasi terjadilah “walling off” (pembentukan dinding) oleh omentum atau viscera lainnya, sehingga terabalah
massa (infiltrat) di regio abdomen kanan bawah tersebut. Masa mula-mula bisa berupa plegmon, kemudian berkembang menjadi rongga yang berisi pus. Dengan USG bisa dideteksi adanya bentukan abses ini. Untuk massa atau infiltrat ini, beberapa ahli menganjurkan anti biotika dulu, setelah 6 minggu kemudian dilakukan appendektomi. Hal ini untuk menghindari penyebaran infeksi
Komplikasi utama apendiksitis adalah perforasi apendiks, yang dapat berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insiden perforasi adalah 105 sampai 32%. Insiden lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi secara umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu 37,7o C atau lebih tinggi, nyeri tekan abdomen yang kontinue.
- H. Pemeriksaan Penunjang
- Laboratorium
Pada anak dengan keluhan dan pemeriksaan fisik yang karakteristik apendisitis akut, akan ditemukan pada pemeriksaan darah adanya lekositosis 11.000-14.000/mm3, dengan pemeriksaan hitung jenis menunjukkan pergeseran kekiri hampir 75%. Jika jumlah lekosit lebih dari 18.000/mm3 maka umumnya sudah terjadi perforasi dan peritonitis (Raffensperger, 1990). Menurut Ein (2000) pada penderita apendisitis akut ditemukan jumlah lekosit antara 12.000-20.000/mm3 dan bila terjadi perforasi atau peritonitis jumlah lekosit antara 20.000-30.000/mm3. Sedang Doraiswamy (1979), mengemukakan bahwa komnbinasi antara kenaikan angka lekosit dan granulosit adalah yang dipakai untuk pedoman menentukan diagnosa appendicitis acut. Tes laboratorium untuk appendicitis bersifat kurang spesifik., sehingga hasilnya juga kurang dapat dipakai sebagai konfirmasi penegakkkan diagnosa. Jumlah lekosit untuk appendisitis akut adalah >10.000/mmk dengan pergeseran kekiri pada hemogramnya (>70% netrofil). Sehingga gambaran lekositosis dengan peningkatan granulosit dipakai sebagai pedoman untuk appendicitis acute (Bolton et al, 1975). Kontroversinya adalah beberapa penderita dengan appendicitis acut, memiliki jumlah lekosit dan granulosit tetap normal (Nauts et al, 1986).
C-rective protein (CRP). Pemeriksaan urinalisa dapat digunakan sebagai konfirmasi dan menyingkirkan kelainan urologi yang menyebabkan nyeri abdomen.
2. Foto Polos abdomen
Mungkin terlihat adanya fekalit pada abdomen sebelah kanan bawah yang sesuai dengan lokasi apendiks, gambaran ini ditemukan pada 20% kasus (Cloud, 1993). Kalau peradangan lebih luas dan membentuk infiltrat maka usus pada bagian kanan bawah akan kolaps. Dinding usus edematosa, keadaan seperti ini akan tampak pada daerah kanan bawah abdomen kosong dari udara. Gambaran udara seakan-akan terdorong ke pihak lain. Proses peradangan pada fossa iliaka kanan akan menyebabkan kontraksi otot sehingga timbul skoliosis ke kanan. Gambaran ini tampak pada penderita apendisitis akut (Mantu, 1994). Bila sudah terjadi perforasi, maka pada foto abdomen tegak akan tampak udara bebas di bawah diafragma. Kadang-kadang udara begitu sedikit sehingga perlu foto khusus untuk melihatnya.
Kalau sudah terjadi peritonitis yang biasanya disertai dengan kantong-kantong pus, maka akan tampak udara yang tersebar tidak merata dan usus-usus yang sebagian distensi dan mungkin tampak cairan bebas, gambaran lemak preperitoneal menghilang, pengkaburan psoas shadow. Walaupun terjadi ileus paralitik tetapi mungkin terlihat pada beberapa tempat adanya permukaan cairan udara (air-fluid level) yang menunjukkan adanya obstruksi (Raffensperger, 1990; Mantu, 1994). Foto x-ray abdomen dapat mendeteksi adanya fecalith (kotoran yang mengeras dan terkalsifikasi, berukuran sebesar kacang polong yang menyumbat pembukaan appendik) yang dapat menyebabkan appendisitis. Ini biasanya terjadi pada anak-anak. Foto polos abdomen supine pada abses appendik kadang-kadang memberi pola bercak udara dan air fluid level pada posisi berdiri/LLD ( decubitus ), kalsifikasi bercak rim-like( melingkar ) sekitar perifer mukokel yang asalnya dari appendik. Pada appendisitis akut, kuadran kanan bawah perlu diperiksa untuk mencari appendikolit : kalsifikasi bulat lonjong, sering berlapis.
- Pemeriksaan radiologi dengan kontras barium enema hanya digunakan pada kasus-kasus menahun. Pemeriksaan radiologi dengan barium enema dapat menentukan penyakit lain yang menyertai apendisitis
- Ultrasonografi
- Computed Tomography Scanning (CT-Scan)
Perbandingan pemeriksaan penunjanng apendisitis akut: | ||
| Ultrasonografi | CT-Scan |
Sensitivitas | 85% | 90 – 100% |
Spesifisitas | 92% | 95 - 97% |
Akurasi | 90 – 94% | 94 – 100% |
Keuntungan | Aman | Lebih akurat |
| relatif tidak mahal | Mengidentifikasi abses dan flegmon lebih baik |
| Dapat mendignosis kelainan lain pada wanita | Mengidentifikasi apendiks normal lebih baik |
| Baik untuk anak-anak | |
Kerugian | Tergantung operator | Mahal |
| Sulit secara tehnik | Radiasi ion |
| Nyeri | Kontras |
| Sulit di RS daerah | Sulit di RS daerah |
- Laparoskopi (Laparoscopy)
- Histopatologi
Difinisi histopatologi apendisitis akut: | |
1 | Sel granulosit pada mukosa dengan ulserasi fokal atau difus di lapisan epitel. |
2 | Abses pada kripte dengan sel granulosit dilapisan epitel. |
3 | Sel granulosit dalam lumen apendiks dengan infiltrasi ke dalam lapisan epitel. |
4 | Sel granulosit diatas lapisan serosa apendiks dengan abses apendikuler, |
| dengan atau tanpa terlibatnya lapisan mukusa. |
5 | Sel granulosit pada lapisan serosa atau muskuler tanpa abses mukosa dan |
| keterlibatan lapisan mukosa, bukan apendisitis akut tetapi periapendisitis. |
- I. Penatalaksanaan
a. Tindakan pre operatif, meliputi penderita di rawat, diberikan antibiotik dan kompres untuk menurunkan suhu penderita, pasien diminta untuk tirabaring dan dipuasakan
b. Tindakan operatif ; apendiktomi
c. Tindakan post operatif, satu hari pasca bedah klien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur selama 2 x 30 menit, hari berikutnya makanan lunak dan berdiri tegak di luar kamar, hari ketujuh luka jahitan diangkat, klien pulang.
- J. Asuhan Keperawatan
- 1. Pengkajian
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, tanggal atau jam masuk rumah sakit, nomor register, diagnosa, nama orang tua, alamat, umur pendidikan, pekerjaan, pekerjaan orang tua, agama dan suku bangsa.
b. Riwayat penyakit sekarang
Klien dengan post appendiktomy mempunyai keluhan utama nyeri yang disebabkan insisi abdomen.
c. Riwayat penyakit dahulu
Meliputi penyakit apa yang pernah diderita oleh klien seperti hipertensi, operasi abdomen yang lalu, apakah klien pernah masuk rumah sakit, obat-abatan yang pernah digunakan apakah mempunyai riwayat alergi dan imunisasi apa yang pernah diderita.
d. Riwayat penyakit keluarga
Adalah keluarga yang pernah menderita penyakit diabetes mellitus, hipertensi, gangguan jiwa atau penyakit kronis lainnya uapaya yang dilakukan dan bagaimana genogramnya .
e. Pola Fungsi Kesehatan
1) Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Adakah kebiasaan merokok, penggunaan obat-obatan, alkohol dan kebiasaan olah raga (lama frekwensinya), bagaimana status ekonomi keluarga kebiasaan merokok dalam mempengaruhi lamanya penyembuhan luka.
2) Pola Tidur dan Istirahat
Insisi pembedahan dapat menimbulkan nyeri yang sangat sehingga dapat mengganggu kenyamanan pola tidur klien.
3) Pola aktifitas
Aktifitas dipengaruhioleh keadaan dan malas bergerak karena rasa nyeri luka operasi, aktifitas biasanya terbatas karena harus bedrest berapa waktu lamanya setelah pembedahan.
4) Pola hubungan dan peran
Dengan keterbatasan gerak kemungkinan penderita tidak bisa melakukan peran baik dalam keluarganya dan dalam masyarakat.
penderita mengalami emosi yang tidak stabil.
5) Pola sensorik dan kognitif
Ada tidaknya gangguan sensorik nyeri, penglihatan, pearaan serta pendengaran, kemampuan berfikir, mengingat masa lalu, orientasi terhadap orang tua, waktu dan tempat.
6) Pola penanggulangan stress
Kebiasaan klien yang digunakan dalam mengatasi masalah.
7) Pola tata nilai dan kepercayaan
Bagaimana keyakinan klien pada agamanya dan bagaimana cara klien mendekatkan diri dengan tuhan selama sakit.
- 2. Pemeriksaan fisik
Kesadaran biasanya kompos mentis, ekspresi wajah menahan sakit tanpa sakit ada tidaknya kelemahan.
2. Integumen
Ada tidaknya oedem, sianosis, pucat, pemerahan luka pembedahan pada abdomen sebelah kanan bawah .
3. Kepala dan Leher
Ekspresi wajah kesakitan pada konjungtiva lihat apakah ada warna pucat.
4. Torax dan Paru
Apakah bentuknya simetris, ada tidaknya sumbatan jalan nafas, gerakan cuping hidung maupun alat Bantu nafas frekwensi pernafasan biasanya normal (16 – 20 kali permenit). Apakah ada ronchi, whezing, stridor.
5. Abdomen
Pada post operasi biasanya sering terjadi ada tidaknya pristaltik pada usus ditandai dengan distensi abdomen, tidak flatus dan mual, apakah bisa kencing spontan atau retensi urine, distensi supra pubis, periksa apakah produksi urine cukup, keadaan urine apakah jernih, keruh atau hematuri jika dipasang kateter periksa apakah mengalir lancar, tidak ada pembuntuan serta terfiksasi dengan baik.
6. Ekstremitas
Apakah ada keterbatasan dalam aktivitas karena adanya nyeri yang hebat, juga apakah ada kelumpuhan atau kekakuan.
- K. Diagnosa Keperawatan
a. Pre operasi
1. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan muntah pre operasi.
2. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan distensi jaringan usus oleh inflamasi.
3. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan.
b. Post operasi
1. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan adanya luka post operasi apendektomi.
2. gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berkurang baehubungan denga anorexia, mual.
3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan insisi bedah. Kurang pengetahuan tentang perawatan dan penyakit berhubungan dengan kurang informasi.
- Perencanaan
1. Persiapan umum operasi
- Mengukur tanda-tanda vital.
- Mengukur berat badan dan tinggi badan.
- Kolaborasi pemeriksaan laboratorium yang penting (Ht, Serum Glukosa, Urinalisa).
- Wawancara.
- Persiapan klien malam sebelum operasi
a. Persiapan kulit
b. Persiapan saluran cerna
- Persiapan kasus yang dilakukan pada saluran cerna berguna untuk :
1. Mengurangi kemungkinan bentuk dan aspirasi selama anestasi.
3.Mencegah infeksi fases saat operasi.
Untuk mencegah tiga hal tersebut dilakukan :
- Puasa dan pembatasan makan dan minum.
- Pemberian enema jika perlu.
- Memasang tube intestine atau gaster jika perlu.
- Jika klien menerimaanastesi umum tidak boleh makan dan minum selama 8 – 10 jam sebelum operasi : mencegah aspirasi gaster. Selang gastro intestinal diberikan malam sebelum atau pagi sebelum operasi untuk mengeluarkan cairan intestinal atau gester.
- Persiapan untuk anastesi
- Ahli anastesi selalu berkunjunng pada pasien pada malam sebelum operasi untuk melekukan pemeriksaan lengkap kardiovaskuler dan neurologis. Hal ini akan menunjukkan tipe anastesi yang akan digunakan selama operasi.
Persiapan pagi hari sebelum operasi klien dibangunkan 1 (satu) jam sebelum obat-obatan pre operasi :
- Mencatat tanda-tanda vital
- Cek gelang identitas klien
- Cek persiapan kulit dilaksanakan dengan baik
- Cek kembali instruksi khusus seperti pemasangan infus
- Yakinkan bahwa klien tidak makan dalam 8 jam terakhir
- Anjurkan klien untuk buang air kecil
- Perawatan mulut jika perlu
- Bantu klien menggunakan baju RS dan penutup kepala
- Hilangkan cat kuku agar mudah dalam mengecek tanda-tanda hipoksia
- Obsevasi tanda-tanda vital
- Kaji intake dan output cairan
- Auskultasi bising usus
- Kaji status nyeri : skala, lokasi, karakteristik
- Ajarkan tehnik relaksasi
- Beri cairan intervena
- Kaji tingkat ansietas
- Beri informasi tentang proses penyakit dan tindakan
- Observasi tanda-tanda vital
- Kaji skala nyeri : Karakteristik, skala, lokasi
- Kaji keadaan luka
- Anjurkan untuk mengubah posisi seperti miring ke kanan, ke kiri dan duduk.
- Kaji status nutrisi
- Auskultasi bising usus
- Beri informasi perawatan luka dan penyakitnya.
- Evaluasi
a. Gangguan rasa nyaman teratasi
c. Gangguan nutrisi teratasi
d. Klien memahami tentang perawatan dan penyakitnya
e. Tidak terjadi penurunan berat badan
f. Tanda-tanda vital dalam batas normal
DAFTAR PUSTAKA
Baratajaya. 1990. Medikal Bedah. Jakarta: EGChttp://www.ilmubedah.com diposting tanggal 3 agustus 2008
http://www.asuhankeperawtan.com
http://www.perawatblogger.com
M.A. Henderson. 1989. Ilmu Bedah Untuk Perawat, Jakarta: Penerbit Yayasan essentia media
Puruhito, Soetanto Wibowo, Soetomo Basuki. 1993. Pedoman Tehnik Operasi “OPTEK” Surabaya: UNAIR Press.
Soeparman Sarwono, Waspadji. 1990. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Smeltzer, Suzzane. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah volume 2. Jakarta: EGC.
Sylvia. A Price. 2000. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses Penyakit Jilid ll. Jakarta: EGC.
Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 7. Jakarta: EGC
Win Dejong, R, Syamsuhidayat. 1997., Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC
Entry Filed under: Keperawatan. .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar